Wednesday, October 15, 2003
Sayap Mungil Yang Terkoyak
Alkisah di sebuah negeri nun jauh di sana, terdapat sebuah hutan tempat tinggal peri-peri yang cantik dan bercahaya indah. Di hutan itu hiduplah dua peri cilik, Rica dan Mica. Mereka bersahabat sangat erat, selalu berdua setiap waktu, bermain petak umpet di tengah-tengah padang bunga tulip di pinggir hutan. bermain air di telaga biru di tengah hutan ataupun terbang mengelilingi pelosok hutan diiringi oleh cahaya kunang-kunang di malam hari. Rica sangat mengagumi sayap mungil Mica yang berwarna biru bercahaya, gemerlap bagaikan tetesan air telaga yang tertimpa cahaya matahari. >"Ah sayapmu jauh lebih indah, putih bersih bagaikan kelopak bunga melati di musim semi", begitu pula Mica selalu memuji Rica yang memiliki sepasang sayap berwarna putih. Mereka melewatkan hari-hari mereka penuh tawa dan kebersamaan. Saling berbagi mimpi dan melakukan hal-hal yang mereka sukai bersama-sama.
Rica yang pandai bermain harpa kerap kali bercerita pada Mica, "Kau tahu Mica, suatu hari nanti aku ingin bermain harpa dari benang sari bunga Edelweis. Aku akan menyanyikan lagu-laguku di hadapan seluruh peri di hutan ini dan tentu aku akan membawakan satu lagu khusus untukmu...". Dan Mica pun selalu menjawab, "Ah pada saat itu aku akan membawakan rangkaian putik bunga tulip untukmu Rica."
Suatu hari datanglah seorang peri cilik bernama Lica ke hutan itu. Lica pandai bernyanyi dan membuat nada-nada yang merdu. Sayapnya yang berwarna abu-abu keperakan berkilau dengan indah. Rica dan Mica menyukai Lica dan mengajaknya bermain bersama. Mengisap madu bunga chrysan dan menunjukkan pada Lica cara membuka kulit biji bunga matahari dan memakannya dengan membubuhkan serbuk sari yang manis sekali. Lica sangat menyukainya. Mereka menghabiskan hari-hari mereka bertiga. Terbang ke sana ke mari dan tertawa ria. Namun ternyata hal itu tidak berlangsung lama...
Suara merdu Lica dan sayapnya yang abu keperakan membuat Mica sangat mengagumi Lica. Sehingga tanpa sadar seluruh perhatian Mica tercurah hanya untuk Lica. Mica mulai meluangkan waktu lebih banyak bersama Lica. Mendengarkan Lica bernyanyi, ataupun sekedar duduk bercengkrama di atas daun pohon mapple. Tanpa sadar, Mica sudah melupakan sahabat lamanya. Rica pun menyadari hal ini, Mica dan Lica yang menjadi makin akrab setiap hari membuat Rica tak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Terkadang Rica tak mengerti apa yang mereka bicara dan tertawakan. Ketika mereka berbicara tentang betapa lucunya katak perut merah atau ketika mereka bercerita tentang betapa indahnya tetesan embun di pucuk pohon pinus, Rica sama sekali tidak mengerti. Seolah-olah Mica dan Lica berada di sebuah dunia yang baru. Dunia milik mereka berdua. Dan yang paling menyakiti hati Rica adalah pada saat ia tanpa sengaja melihat Mica memberikan rangkaian putik bunga tulip untuk Lica. Rangkaian putik bunga tulip adalah janji special Mica kepada Rica...namun posisi Rica saat itu telah tergantikan dengan adanya Lica...
Rica merasa terbuang. Sahabatnya yang selama ini selalu menghabiskan hari-hari bersamanya telah melupakannya. Sahabat tempatnya berbagi mimpi telah hilang. Tak ada lagi hari-hari penuh tawa. Tak ada lagi saat duduk berdua memandang matahari terbenam di balik bukit. Tak ada lagi tidur siang bersama di atas kelopak bunga bakung. Hari-hari berlalu, Rica pun hanya berdiam diri saja...hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Pergi keluar dari hutan itu. Pergi ke gunung Alpen yang bersalju. Mencari benang sari dari bunga Edelweis, untuk memenuhi janjinya pada Mica. Rica pun pergi...
Tak ada satu peri pun yang sanggup pergi keluar jauh dari hutan. Cuaca yang ganas dan sayap peri yang rapuh tak memungkinkan bagi para peri untuk terbang lebih jauh keluar hutan. Namun Rica tetap bertekad keras...angin bertiup kecang dan mulai merobek sayap putihnya. Serpihan debu yang menghantam tubuh mungilnya, mencabik dan akhirnya menghempaskan tubuhnya ke tanah...diam...tak kuasa menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tubuhnya memar. Nafasnya sesak. Sayap putinya yang dahulu berkilau gemerlap, koyak dan lusuh. Hatinya pilu. Sesaat Rica memejamkan mata, mencoba bertahan. Mencoba mengingat segala kenangan indah yang pernah dialaminya bersama Mica. Hatinya menangis.
Sayup-sayup terdengar suara...sayup-sayup terdengar suara yang memanggil namanya. Sayup-sayup. Makin lama makin jelas. Makin lama makin jelas...itu adalah suara yang dirindukannya. Itu adalah suara Mica! Suara Mica! Suara sahabatnya yang memanggil namanya. "Rica! Rica! Dimana kau? Rica!?" Suara itu makin dekat. Rica dapat melihat sayap biru yang indah berkilau yang sangat dikenalnya. "Mica...Mica...Mica! Betapa aku rindu mendengar suaramu..." batin Rica. "Maafkan aku...aku...aku sungguh tidak menyangka akan jadi seperti ini. Kau tetap sahabatku. Tidak ada yang dapat menggantikanmu. Sungguh..." , Mica menangis sambil memeluk kepala Rica di pangkuannya. "Kau gila berniat keluar dari hutan sendirian, untung saja aku menemukan catatan harianmu...untuk apa kau lakukan ini??" Sambil memejamkan mata, Rica tersenyum...dan berkata lirih, "Kupikir kalau aku bisa mendapatkan benang sari bunga Edelweis dan menyanyikan satu lagu khusus untukmu, kau akan melihatku lagi...kau akan memberiku rangkaian putik bunga tulip....dan segalanya akan seperti dulu lagi, kita akan terbang bersama dimalam hari di tengah-tengah cahaya kunang-kunang...aku rindu dirimu..." air mata berlinang di pipi Rica. Betapa ia merindukan sahabatnya ini.
"Maafkan aku..." Mica hanya bisa menangis tersedu-sedu... "Maafkan aku...maafkan aku..." katanya berulang-ulang, "Aku tak butuh benang sari bunga Edelweis, aku hanya ingin kau tetap di sini...Masih bisakah kita mulai lagi seperti dulu? Kau tak perlu pergi...aku ingin kau di sini..."
"Aku takkan pergi apabila kau ingin aku di sini...terima kasih kau sudah mencariku sejauh ini..." , Rica memeluk Mica dan hatinya bersyukur memiliki sahabat seperti Mica.
Mica menopang Rica berdiri, dan mereka terbang berdua kembali ke hutan...melewati padang bunga tulip dan telaga biru yang berkilau disirami cahaya matahari. Hari itu, dua peri cilik itu kembali merasakan arti sebuah persahabatan. Hari-hari yang lebih indah menanti. Dan bagaimana dengan Lica? Well, Lica masih tetap bersahabat dengan Rica dan Mica, mereka bertiga melewati hari-hari dengan penuh tawa.
This story is created by Kriz. Dedicated to Mica - the blue little fairy.
Sometimes, friendship hurts but friendship itself that heals the wound...
Alkisah di sebuah negeri nun jauh di sana, terdapat sebuah hutan tempat tinggal peri-peri yang cantik dan bercahaya indah. Di hutan itu hiduplah dua peri cilik, Rica dan Mica. Mereka bersahabat sangat erat, selalu berdua setiap waktu, bermain petak umpet di tengah-tengah padang bunga tulip di pinggir hutan. bermain air di telaga biru di tengah hutan ataupun terbang mengelilingi pelosok hutan diiringi oleh cahaya kunang-kunang di malam hari. Rica sangat mengagumi sayap mungil Mica yang berwarna biru bercahaya, gemerlap bagaikan tetesan air telaga yang tertimpa cahaya matahari. >"Ah sayapmu jauh lebih indah, putih bersih bagaikan kelopak bunga melati di musim semi", begitu pula Mica selalu memuji Rica yang memiliki sepasang sayap berwarna putih. Mereka melewatkan hari-hari mereka penuh tawa dan kebersamaan. Saling berbagi mimpi dan melakukan hal-hal yang mereka sukai bersama-sama.
Rica yang pandai bermain harpa kerap kali bercerita pada Mica, "Kau tahu Mica, suatu hari nanti aku ingin bermain harpa dari benang sari bunga Edelweis. Aku akan menyanyikan lagu-laguku di hadapan seluruh peri di hutan ini dan tentu aku akan membawakan satu lagu khusus untukmu...". Dan Mica pun selalu menjawab, "Ah pada saat itu aku akan membawakan rangkaian putik bunga tulip untukmu Rica."
Suatu hari datanglah seorang peri cilik bernama Lica ke hutan itu. Lica pandai bernyanyi dan membuat nada-nada yang merdu. Sayapnya yang berwarna abu-abu keperakan berkilau dengan indah. Rica dan Mica menyukai Lica dan mengajaknya bermain bersama. Mengisap madu bunga chrysan dan menunjukkan pada Lica cara membuka kulit biji bunga matahari dan memakannya dengan membubuhkan serbuk sari yang manis sekali. Lica sangat menyukainya. Mereka menghabiskan hari-hari mereka bertiga. Terbang ke sana ke mari dan tertawa ria. Namun ternyata hal itu tidak berlangsung lama...
Suara merdu Lica dan sayapnya yang abu keperakan membuat Mica sangat mengagumi Lica. Sehingga tanpa sadar seluruh perhatian Mica tercurah hanya untuk Lica. Mica mulai meluangkan waktu lebih banyak bersama Lica. Mendengarkan Lica bernyanyi, ataupun sekedar duduk bercengkrama di atas daun pohon mapple. Tanpa sadar, Mica sudah melupakan sahabat lamanya. Rica pun menyadari hal ini, Mica dan Lica yang menjadi makin akrab setiap hari membuat Rica tak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Terkadang Rica tak mengerti apa yang mereka bicara dan tertawakan. Ketika mereka berbicara tentang betapa lucunya katak perut merah atau ketika mereka bercerita tentang betapa indahnya tetesan embun di pucuk pohon pinus, Rica sama sekali tidak mengerti. Seolah-olah Mica dan Lica berada di sebuah dunia yang baru. Dunia milik mereka berdua. Dan yang paling menyakiti hati Rica adalah pada saat ia tanpa sengaja melihat Mica memberikan rangkaian putik bunga tulip untuk Lica. Rangkaian putik bunga tulip adalah janji special Mica kepada Rica...namun posisi Rica saat itu telah tergantikan dengan adanya Lica...
Rica merasa terbuang. Sahabatnya yang selama ini selalu menghabiskan hari-hari bersamanya telah melupakannya. Sahabat tempatnya berbagi mimpi telah hilang. Tak ada lagi hari-hari penuh tawa. Tak ada lagi saat duduk berdua memandang matahari terbenam di balik bukit. Tak ada lagi tidur siang bersama di atas kelopak bunga bakung. Hari-hari berlalu, Rica pun hanya berdiam diri saja...hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Pergi keluar dari hutan itu. Pergi ke gunung Alpen yang bersalju. Mencari benang sari dari bunga Edelweis, untuk memenuhi janjinya pada Mica. Rica pun pergi...
Tak ada satu peri pun yang sanggup pergi keluar jauh dari hutan. Cuaca yang ganas dan sayap peri yang rapuh tak memungkinkan bagi para peri untuk terbang lebih jauh keluar hutan. Namun Rica tetap bertekad keras...angin bertiup kecang dan mulai merobek sayap putihnya. Serpihan debu yang menghantam tubuh mungilnya, mencabik dan akhirnya menghempaskan tubuhnya ke tanah...diam...tak kuasa menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tubuhnya memar. Nafasnya sesak. Sayap putinya yang dahulu berkilau gemerlap, koyak dan lusuh. Hatinya pilu. Sesaat Rica memejamkan mata, mencoba bertahan. Mencoba mengingat segala kenangan indah yang pernah dialaminya bersama Mica. Hatinya menangis.
Sayup-sayup terdengar suara...sayup-sayup terdengar suara yang memanggil namanya. Sayup-sayup. Makin lama makin jelas. Makin lama makin jelas...itu adalah suara yang dirindukannya. Itu adalah suara Mica! Suara Mica! Suara sahabatnya yang memanggil namanya. "Rica! Rica! Dimana kau? Rica!?" Suara itu makin dekat. Rica dapat melihat sayap biru yang indah berkilau yang sangat dikenalnya. "Mica...Mica...Mica! Betapa aku rindu mendengar suaramu..." batin Rica. "Maafkan aku...aku...aku sungguh tidak menyangka akan jadi seperti ini. Kau tetap sahabatku. Tidak ada yang dapat menggantikanmu. Sungguh..." , Mica menangis sambil memeluk kepala Rica di pangkuannya. "Kau gila berniat keluar dari hutan sendirian, untung saja aku menemukan catatan harianmu...untuk apa kau lakukan ini??" Sambil memejamkan mata, Rica tersenyum...dan berkata lirih, "Kupikir kalau aku bisa mendapatkan benang sari bunga Edelweis dan menyanyikan satu lagu khusus untukmu, kau akan melihatku lagi...kau akan memberiku rangkaian putik bunga tulip....dan segalanya akan seperti dulu lagi, kita akan terbang bersama dimalam hari di tengah-tengah cahaya kunang-kunang...aku rindu dirimu..." air mata berlinang di pipi Rica. Betapa ia merindukan sahabatnya ini.
"Maafkan aku..." Mica hanya bisa menangis tersedu-sedu... "Maafkan aku...maafkan aku..." katanya berulang-ulang, "Aku tak butuh benang sari bunga Edelweis, aku hanya ingin kau tetap di sini...Masih bisakah kita mulai lagi seperti dulu? Kau tak perlu pergi...aku ingin kau di sini..."
"Aku takkan pergi apabila kau ingin aku di sini...terima kasih kau sudah mencariku sejauh ini..." , Rica memeluk Mica dan hatinya bersyukur memiliki sahabat seperti Mica.
Mica menopang Rica berdiri, dan mereka terbang berdua kembali ke hutan...melewati padang bunga tulip dan telaga biru yang berkilau disirami cahaya matahari. Hari itu, dua peri cilik itu kembali merasakan arti sebuah persahabatan. Hari-hari yang lebih indah menanti. Dan bagaimana dengan Lica? Well, Lica masih tetap bersahabat dengan Rica dan Mica, mereka bertiga melewati hari-hari dengan penuh tawa.
This story is created by Kriz. Dedicated to Mica - the blue little fairy.
Sometimes, friendship hurts but friendship itself that heals the wound...